Bandung - Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) bersama Pemerintah Provinsi Jawa Barat menggelar Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Pengembangan Jasa dan Usaha Konstruksi Indonesia pada 1 Maret 2024, di Hotel Grand Mercure Bandung. Acara tersebut dihadiri oleh Ketua LPJK, Bapak Taufik Widjoyono, serta Pengurus LPJK Bidang III, Bapak Agus Taufik Mulyono, dan Pengurus LPJK Bidang V, Bapak Manlian Ronald Adventus Simanjuntak. Turut hadir juga beberapa pihak seperti Balai Jasa Konstruksi Wilayah III yang diwakili oleh Bapak Samuel E.D, Dinas Perumahan dan Permukiman Provinsi Jawa Barat yang diwakili oleh Ibu Dwi Retno, serta Dinas Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat yang diwakili oleh Bapak Syamsul Anwar. Selain itu, hadir pula perwakilan dari UPTD Perkim dan PSDA, Kabupaten/Kota, Asosiasi Profesi Terakreditasi, Asosiasi Badan Usaha Terakreditasi, Asosiasi Rantai Pasok Terakreditasi, LSP Terlisensi, LSBU Terlisensi, Perguruan Tinggi, LPPK, Badan Usaha, dan Penilai Ahli Jawa Barat.
Infrastruktur memiliki peran penting sebagai katalisator dalam pertumbuhan ekonomi nasional dan peningkatan daya saing di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang jasa konstruksi, pemerintah pusat memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pembinaan bagi seluruh pelaku industri konstruksi, termasuk asosiasi jasa konstruksi dan tenaga kerja konstruksi serta stakeholder terkait rantai pasok dalam jasa konstruksi.
Bapak Taufik Widjoyono menjelaskan, "Untuk melaksanakan amanat UU Nomor 2 Tahun 2017, pemerintah pusat membutuhkan bantuan dan dukungan dari instansi serta masyarakat jasa konstruksi untuk melakukan pembinaan."
Menurut amanat undang-undang tersebut, pemerintah pusat dan daerah harus melakukan pembinaan kepada masyarakat jasa konstruksi yang meliputi asosiasi badan usaha, asosiasi profesi, lembaga pendidikan dan pelatihan jasa konstruksi, pengguna jasa, penyedia jasa, perguruan tinggi/pakar, pelaku rantai pasok, tenaga kerja konstruksi, pemerhati konstruksi, lembaga sertifikasi jasa konstruksi, dan pemanfaat produk jasa konstruksi.
Terdapat empat objek utama yang menjadi kunci sukses penyelenggaraan konstruksi, yaitu pengguna jasa yang mengendalikan kegiatan konstruksi secara substansial, penyedia jasa yang melaksanakan kegiatan konstruksi, rantai pasok yang menyuplai peralatan, material, dan teknologi, serta tenaga kerja konstruksi yang melakukan pekerjaan konstruksi. Kegiatan FGD ini merupakan bagian dari pembinaan bagi masyarakat jasa konstruksi dalam mencapai kualitas produk konstruksi yang handal dan berkelanjutan serta pengawasan penyelenggaraan jasa konstruksi.
Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri PUPR Nomor 1 Tahun 2023 tentang pedoman pengawasan penyelenggaraan jasa konstruksi, pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota memiliki pedoman untuk melaksanakan kewenangannya dalam sub-urusan jasa konstruksi, termasuk pengaturan lingkup, tata cara, pelaporan pelaksanaan pengawasan, dan mekanisme sanksi.
"Peraturan Menteri PUPR Nomor 1 tersebut mencakup tiga tertib, yaitu pengawasan tertib usaha jasa konstruksi, tertib penyelenggaraan jasa konstruksi, dan tertib pemanfaatan produk jasa konstruksi," tambah Ketua LPJK.
Bapak Manlian Ronald Adventus Simanjuntak menyatakan, "Salah satu upaya menjaga kualitas pelaku usaha jasa konstruksi adalah dengan Pengembangan Usaha Berkelanjutan (PUB), sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 37 UU Nomor 2 Tahun 2017, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan profil pelaksanaan usaha pelaku sektor jasa konstruksi. PUB dan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) merupakan kegiatan pemberdayaan bagi anggota dan juga syarat akreditasi asosiasi dengan bobot 25%." Hal ini menunjukkan pentingnya pelaksanaan pemberdayaan anggota sebagai tugas asosiasi sesuai dengan amanat Peraturan Menteri PUPR Nomor 10 Tahun 2020 yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2021.
"Pemerintah melalui LPJK memiliki peran strategis, antara lain untuk mendorong tingkat kepatuhan LSP/LSBU terhadap pemenuhan ketentuan peraturan yang berlaku, mendorong peran penilai ahli dalam setiap terjadinya kegagalan bangunan, meningkatkan kualitas dan kuantitas pelaksanaan akreditasi asosiasi, serta mempercepat pelayanan publik berbasis teknologi informasi," jelas Pengurus LPJK Bidang III.
Bagi tenaga kerja konstruksi yang dianggap kompeten, harus memenuhi tiga syarat: pengetahuan atau ilmu yang memadai, integritas atau sikap, dan keterampilan yang memadai. Harapannya, semua tenaga kerja konstruksi yang memiliki Sertifikat Keahlian Kompetensi (SKK) memiliki kualitas yang baik, karena merekalah yang dapat mewujudkan konstruksi yang sehat, aman, dan berkelanjutan. Kualitas bangunan yang baik dapat tercapai apabila tata kelola oleh pekerja dan cara yang baik.